Selengkapnya...


Rabu, 01 September 2010

PELAKSANAAN ASAS-ASAS OTONOMI DAERAH

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Disamping itu daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
Otonomi daerah sesungguhnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sampai saat ini Indonesia sudah beberapa kali merubah peraturan perundang – undangan tentang pemerintahan daerah yang menandakan bagaimana otonomi daerah di Indonesia berjalan secara dinamis.
Semenjak awal kemerdekaan samapi sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. UU 22/1999 menganut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Sedangkan saat ini di bawah UU 32/2004 dianut prinsip otonomi seluas – luasnya, nyata dan bertanggung jawab.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pun banyak dikatakan sebagai otonomi daerah setengah hati, masih banyak kekurangan yang mewarnai pelaksanaan otonomi daerah seperti kurangnya koordinasi pusat dan daerah serta masalah – masalah lain yang kemudian berdampak terhadap masyarakat itu sendiri. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah.
Keinginan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik melalui otonomi daerah memang bukanlah hal yang mudah, masih banyak hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menciptakan otonomi daerah yang maksimal demi menciptakan pemerintahan khususnya pemerintahan daerah yang lebih baik. Inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran penulis untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada mengenai otonomi daerah sehingga nantinya menjadi bahan pemikiran bersama guna mewujudkan suatu pemerintahan yang baik sesuai dengan asas – asas umum pemerintahan yang baik.
Seperti yang telah dikemukakan dalam halaman latar belakang, ada beberapa masalah yang akan dibahas pada paper ini,yaitu:
1.1.1 Bagaimana dampak negatif yang terjadi dalam pelaksanaan otonomi daerah saat ini?
1.1.2 Bagaimana prospek otonomi daerah di masa mendatang dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang sesuai AAUPB ?
1.1.3 Mengidentifikasi permasalahan sertta kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan otonomi daerah saat ini.
2.1 Kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah saat ini.
Sebelum membahas mengenai kendala dalam pelaksanaan otonomi daerah, ada baiknya diketahui terlebih dahulu pengertian Otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004), sedangkan menurut Menurut kamus Wikipedia yang penulis akses pada tanggal 24 Nopember 2009, Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengertian “otonom” secara bahasa adalah “berdiri sendiri” atau “dengan pemerintahan sendiri”. Sedangkan “daerah” adalah suatu “wilayah” atau “lingkungan pemerintah”. Dengan demikian pengertian secara istilah “otonomi daerah” adalah “wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri.” Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. (Wikipedia, akses : 24 Nopember 2009)
Dasar pemikiran yang melatarbelakangi adanya otonomi daerah adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut maka dimulailah babak baru pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Kebijakan Otonomi Daerah ini memberikan kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Kota didasarkan kepada desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Kewenangan Daerah mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Namun dalam kenyataannya masih ada berbagai kendala – kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah saat ini khususnya permasalahan terkait pelaksanaan pemerintahan yang baik. Permasalahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. 1. Desentralisasi Korupsi
Dengan adanya penerapan sistem otonomi daerah, maka terbuka pula peluang yang sebesar-besarnya bagi pejabat daerah terutama oknum pejabat untuk melalukan praktek KKN. Hal tersebut terlihat pada contoh kasus seperti yang dimuat pada majalah Tempo Kamis 4 November 2004 (www.tempointeraktif.com) “Desentralisasi Korupsi Melalui Otonomi Daerah”
“Setelah Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, resmi menjadi tersangka korupsi pembelian genset senilai Rp 30 miliar, lalu giliran Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar resmi sebagai tersangka kasus korupsi anggaran dewan dalam APBD 2002 sebesar Rp 6,4 miliar, oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Dua kasus korupsi menyangkut gubernur ini, masih ditambah hujan kasus korupsi yang menyangkut puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di berbagai wilayah di Indonesia, dengan modus mirip: menyelewengkan APBD.
………………………
Sehingga ada ketidak jelasan akuntabilitas kepala daerah terhadap masyarakat setempat, yang membuat bentuk-bentuk tanggung jawab kepala daerah ke publik pun menjadi belum jelas. ?Karena posisi masyarakat dalam proses penegakan prinsip akuntabilitas dan transparansi pemerintah daerah, belum jelas, publik tidak pernah tahu bagaimana kinerja birokrasi di daerah,? ujarnya.
………………………….
Untuk itu Andrinof mengusulkan, selain dicantumkan prosedur administrasi dalam pertanggung jawaban anggota Dewan, juga perlu ada prosedur politik yang melibatkan masyarakat dalam mengawasi proyeksi dan pelaksanaan APBD. Misalnya, dengan adanya rapat terbuka atau laporan rutin ke masyarakat melalui media massa.
Berikut ini beberapa modus korupsi di daerah:
1. Korupsi Pengadaan Barang Modus : a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar. b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2. Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah) Modus :a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi. b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
3. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya. Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo) Modus : a. Pemotongan dana bantuan sosial b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5. Bantuan fiktif dan Penyelewengan dana proyek. Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar, Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi serta memotong dana proyek tanpa sepengtahuan orang lain.
6. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran. Modus :a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan. b. Penetapan target penerimaan …………………………………”
Sumber : The Habibie Center
1. Potensi Konflik di daerah
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu upaya untuk mempertahankan kesatuan Negara Indonesia, karena dengan diterapkannya kebijakan ini diharapkan dapat meredam daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dengan NKRI, terutama daerah-daerah yang merasa kurang puas dengan sistem atau apa saja yang menyangkut NKRI. Tetapi disatu sisi otonomi daerah berpotensi menyulut konflik antar daerah. Konflik yang dimaksud disini adalah konflik kepentingan serta hal – hal yang terkait dengan pemekaran daerah, sumber daya alam termasuk juga mengenai perbatasan. Banyak daerah saat ini menyimpan potensi konflik yang sangat besar. Hubungan sosial antar anggota masyarakat yang tidak harmonis, kesenjangan sosial, serta kebijakan pemerintah yang tidak sensitif terhadap konflik merupakan faktor-faktor yang sangat potensial bagi munculnya konflik di daerah.
1. SDM dalam hal pelayanan publik.
Dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. pemerintah daerah diharapkan untuk dapat membuat perencanaan dan melaksanakan program. Program ini diidentifikasi dan diprioritaskan menurut kebutuhan daerah dengan berkonsultasi pada pemerintah tingkat bawah dan anggota masyarakat. Hal ini menjadi kendala yang serius ketika apabila orang /badan yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi. Selain itu dalam kaitannya dengan pemekaran daerah, banyak daerah yang merupakan hasil pemekaran belum memiliki kesiapan baik secara infrastruktur maupun sumber daya manusia dalam hal pelayanan publik.
2.2. Otonomi daerah di masa mendatang yang sesuai dengan AAUPB.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi atau otonomi daerah merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa otonomi daerah di Indonesia adalah “melepaskan diri sebesarnya dari pusat” bukan “membagi tanggung jawab kesejahteraan daerah”.
Terkait dengan kendala – kendala yang masih dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah saat ini, maka perlu disadari bahwa masalah utama antara pusat dan otonomi daerah adalah masalah perimbangan. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah argumen mana yang terbaik bagi masyarakat. Maka dari itu, Birokrasi adalah alat pemerintah pusat untuk melakukan perbaikan daerah. Birokrasi, jika dirancang secara sungguh-sungguh, birokrasi bisa berperan sebagai alat merasionalisasikan masyarakat. Pemerintah pusat, misalnya, membantu pemerintah daerah dalam mendesain pelayanan publik yang akuntabel. (sumber acuan http://www.kompas.com Kamis, 02 Juni 2005).
Seperti halnya prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang tercantum dalam Pasal 2 UU No.28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, ada beberapa asas umum penyelenggaraan negara, yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.
a) asas kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara;
b) asas tertib penyelenggaraan negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara;
c) asas kepentingan umum, adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;
d) asas keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara;
e) asas proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara;
f) asas profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;.
g) asas akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam upaya mewujudkan otonomi daerah yang sesuai dengan AAUPB, maka dalam perspektif yang lebih luas, konsep pemerintah yang baik meliputi tiga dimensi utama yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Dengan demikian, untuk mewujudkan good governance maka harus ada kerjasama yang bersifat sinergis antara negara melalui pemerintah pusat dan daerah dengan masyarakat yang mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi dengan elemen-elemennya, seperti legitimasi, akuntabilitas, perlindungan hak asasi manusia, kebebasan, transparansi, pembagian kekuasaan dan kontrol masyarakat. Sehingga pada hakekatnya otonomi Daerah adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat yang diharapkan dapat memenuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
Berdasarkan rumusan masalah serta pembahasan yang telah diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1) Beberapa kendala yang masih dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia saat ini adalah timbulnya peluang desentralisasi korupsi, potensi konflik di daerah serta belum siapnya sumber daya manusia yang terkait dengan pelayanan publik.
2) Untuk mewujudkan otonomi daerah yang berlandaskan pemerintahan yang baik di masa mendatang, maka harus ada kerjasama yang bersifat sinergis antara negara melalui pemerintah pusat dan daerah dengan masyarakat yang mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi dengan elemen-elemennya, seperti legitimasi, akuntabilitas, perlindungan hak asasi manusia, kebebasan, transparansi, pembagian kekuasaan dan kontrol masyarakat